JAKARTA, KLIKHEALTH – Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI) menyampaikan seruan agar para pekerja mewaspadai wabah penyakit difteri yang akhir-akhir ini sudah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia. Seruan itu disampaikan PERDOKI melalui surat yang disampaikan kepada para pimpinan perusahaan/pimpinan rumah sakit/fasilitas kesehatan, sejawat dokter/dokter spesialis, dan pelaksana kesehatan kerja tertanggal 10 Desember 2017.
Dalam surat bernomor 1263/Sekr/PERDOKI/XII/2017 itu, PERDOKI mengingatkan para pekerja bahwa, difteri adalah penyakit akut yang sangat menular. Disebabkan oleh bakteri kuman (corynebacterium diphteria). Penyakit ini hanya berjangkit pada manusia tersebar di seluruh dunia. Umumnya pada bayi/anak-anak, namun dapat juga terjadi pada orang dewasa. Orang yang terserang difteri pada umumnya mereka yang tidak mendapatkan vaksinasi difteri, vaksinasi difteri tidak lengkap atau vaksinasi difteri sudah lebih dari 10 tahun. Angka kematian pada orang dewasa dapat mencapai 20 %.
PERDOKI menyampaikan, pekerja yang berisiko tertular difteri, pertama, pekerja di layanan kesehatan yang bertugas melayani orang sakit, baik melalui udara, sekret/doplet maupun media lainnya yang mengandung kuman penyakit. Teruma petugas layanan kesehatan di poliklinik atau bangsal anak, bangsal isolasi, ruang persalinan dan neonatal.
Pekerja layanan publik juga rentan terkena difteri, seperti pekerja kantoran, perbankan, pedagang, guru dan pekerja lainnya yang berhadapan dengan orang sehari-harinya. Karena berpotensi mengalami penularan penyakit terutama melalui udara.
Pekerja terpajan debu/bahan kimia yang menyebabkan berkurangnya pertahanan jalan nafas sehingga mudah terjadi infeksi saluran nafas.
PERDOKI menyampaikan langkah-langkah pencegahan secara umum, yakni, pertama, penyuluhan dan edukasi mengenai bahaya potensial di tempat kerja dengan gangguan kesehatan yang mungkin timbul.
Kedua, penyuluhan dan edukasi higiene perorangan dengan penyediaan fasilitasnya (misal, cuci tangan, mandi)
Ketiga, edukasi bagi pasien, misal melalui poster mengenai etika batuk/bersin.
Keempat, memeriksa status imunisasi masing-masing untuk mengetahui apakah status imunisasinya sudah lengkap atau belum. Jika belum pernah atau belum lengkap atau sudah lebih dari 10 tahun lalu, agar dilengkapi/diulang.
Kelima, menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (sehari-hari dan seterusnya), mempergunakan masker bila sedang batuk pilek, berobat ke pelayanan kesehatan terdekat bila merasa ada gejala difteri, melaporkan ke Puskesmas/klinik terdekat bila mengetahui ada seseorang yang menunjukkan gejala difteri, mematuhi petunjuk minum obat antibiotik bagi bagi kontak kasus difteri yang dirawat di ruang isolasi rumah sakit atau Puskesmas, agar tidak tertular.
Terhadap pekerja yang belum pernah mendapatkan vaksinasi difteri sebelumnya harus mendapatkan vaksinasi lengkap 3 dosis seri primer. Vaksin berupa kombinasi vaksin difteri dan toksoid tetanus (Td). Dua dosis awal diberikan dengan jarak minimal 4 minggu dan dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis kedua. Satu dosis Td dapat diganti dengan Tdap (tetanus, difteri, aseluler, pertusis) pada salah satu dari tiga dosis seri primer. Setelah itu dilanjutkan denga booster setiap 10 tahun.
Pekerja yang sudah pernah divaksinasi difteri, diberikan booster jika terakhir pemberian vaksin 10 tahun yang lalu.
Para pekerja wanita hamil dapat diberikan vaksinasi Td pada trisemester kedua dan ketiga jika pernah mendapatkan vaksinasi difteri dan tetanus lebih dari 10 tahun sebelumnya.
Jika pekerja wanita mendapatan vaksinasi Td kurang 10 tahun dapat diberikan Tdap secepatnya pada saat setelah melahirkan (post partum).
Difteri dapat menular kika ada kontak dengan penderita atau pembawa penyakit difteri (carrier) melalui udara/doplet (percikan). Sekret (cairan) yang mengandung kuman (infeksius) berupa droplet disebarkan melalui batul, bersin, atau pada saat bicara. Bila terjadi difteri kulit, eksudat (cairan) dari kulit yang terinfeksi juga dapat menjadi sumber penularan. Kontak tidak langsung dapat melalui debu, baju, buku atau barang lainnya yang terkontaminasi.
Gejala difteri dapat dilihat dari, penderita mengalami demam tinggi 38 derjat celsius, pseudomembran (selaput) putih keabu-abuan yang tidak mudah lepas, dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil (daerah tenggorokan), sakit waktu menelan, leher membengkak, seperti leher sapi, dan sesak nafas disertai sridor (bunyi pada saat nafas seperti tersumbat).
Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa difteri saluran nafas (penyumbata saluran nafas), difteri kutan (kulit), kardiomiopati toksik (gejala pada jantung), dan infeksi di tempat lain.
Diagnosis difteri dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik yang khas. Diagnosis dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman C diphteria pada pemeriksaan kultur dari lesi (area terinfeksi) yang dicurigai. Spesimen diambil dari hidung, tenggorokan, dan lesi kulit mukosa yang dicurigai. Pemeriksaan memerlukan laboratorium khusus. (*)
Komentar