KLIKHEALTH – Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, menyorot ketimpangan layanan kesehatan di Indonesia. Seperti dilansir dari situs resmi who.int, WHO mengungkapkan ketimpangan layanan kesehatan di Indonesia yang terus berlanjut dan terjadi pada banyak orang, bahkan di lingkungan perkotaan seperti di Senen, Kota Jakarta, justru tetap dalam posisi yang kurang menguntungkan. Usia, jenis kelamin, status ekonomi, tingkat pendidikan, pekerjaan atau tempat tinggal semua orang dapat mempengaruhi status kesehatan mereka dan akses terhadap layanan.
Ketika pemerintah menemukan bahwa hanya 30 % penduduk lokal di Senen menggunakan pusat kesehatan masyarakat, pemerintah meluncurkan sebuah inisiatif kesehatan mobile yang disebut Hibiscus dalam upaya untuk meningkatkan akses terhadap perawatan. Diluncurkan pada bulan Juli tahun ini, Hibiscus bertujuan untuk memberikan layanan berkualitas, seperti perawatan antenatal, tes HIV, mammogram, imunisasi, pemeriksaan tekanan darah dan pendidikan kesehatan, langsung kepada lebih dari 120.000 penduduk setempat.
“Masalah kesehatan yang kita lihat di puskesmas menunjukkan bahwa anggota masyarakat tidak memprioritaskan tindakan pencegahan kesehatan,” kata Widyaningsih (Wida), seorang bidan dan koordinator lapangan untuk Hibiscus.
“Kita harus proaktif dalam menjangkau dan mendidik mereka. Mereka mungkin tidak bisa datang ke pusat kesehatan, jadi kita pergi menemui mereka. ”
Untuk mengurangi kesenjangan layanan kesehatan dan mengidentifikasi bidang prioritas tindakan untuk bergerak menuju cakupan kesehatan universal, pemerintah terlebih dahulu harus memahami besaran dan cakupan ketidaksetaraan di negara mereka. Dari bulan April 2016 sampai Oktober 2017, Kementerian Kesehatan, WHO, dan jaringan pemangku kepentingan menilai ketimpangan kesehatan di 11 wilayah, seperti kesehatan ibu dan anak, cakupan imunisasi dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
Sementara beberapa orang Indonesia memiliki akses yang mudah terhadap inisiatif layanan kesehatan dan pencegahan, yang lainnya berada pada posisi yang kurang menguntungkan,” kata Dr Siswanto, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. “Memantau kesenjangan adalah bagian mendasar dalam memperbaiki kesehatan orang-orang yang dirugikan, dan memastikan negara tersebut memenuhi komitmennya ‘tidak ada yang tertinggal’.”
Hasil utama dari pekerjaan pemantauan adalah sebuah laporan baru yang disebut Ketidakseimbangan Kesehatan Negara: Indonesia, laporan WHO pertama yang memberikan penilaian komprehensif mengenai ketidaksetaraan kesehatan di suatu negara anggota.
Laporan tersebut merangkum data dari lebih dari 50 indikator kesehatan dan memisahkannya dengan dimensi ketidaksetaraan, seperti status ekonomi rumah tangga, tingkat pendidikan, tempat tinggal, usia atau jenis kelamin.
Laporan tersebut menemukan bahwa keadaan kesehatan dan akses terhadap layanan kesehatan bervariasi di seluruh Indonesia dan mengidentifikasi sejumlah area dimana tindakan harus dilakukan.
Ini termasuk, antara lain: meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan gizi anak-anak; meningkatkan kesetaraan dalam cakupan layanan antenatal dan kelahiran yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terampil; mengurangi tingkat merokok yang tinggi di antara laki-laki; menyediakan perawatan kesehatan mental dan layanan di seluruh tingkat pendapatan; dan mengurangi ketidaksetaraan akses terhadap perbaikan air dan sanitasi. Selain itu, ketersediaan tenaga kesehatan, terutama dokter gigi dan bidan, tidak memadai di banyak puskesmas.
Kini negara menggunakan temuan ini untuk bekerja lintas sektor untuk mengembangkan rekomendasi dan program kebijakan spesifik, seperti inisiatif kesehatan mobile di Senen, untuk mengatasi ketidaksetaraan yang telah diidentifikasi.
Studi kasus untuk negara lain
Memahami keadaan ketimpangan kesehatan di negara merupakan langkah kunci dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Di antara 17 tujuan, SDG 3 berfokus untuk memastikan kehidupan sehat bagi semua orang di segala usia, sementara SDG 10 menyerukan pengurangan ketidaksetaraan di dalam dan di antara negara-negara.
“Proses pengembangan kapasitas untuk pemantauan ketimpangan kesehatan di Indonesia dan pengembangan laporan ini dapat digunakan sebagai contoh bagi negara lain tentang bagaimana mengintegrasikan pemantauan ketimpangan kesehatan ke dalam sistem informasi kesehatan nasional mereka,” kata Ahmad Reza Hosseinpoor, yang memimpin WHO bekerja pada pemantauan pemerataan kesehatan.
WHO telah mengembangkan paket sumber daya dan alat untuk mendukung negara-negara anggota untuk memantau ketimpangan kesehatan. Ini termasuk Health Equity Assessment Toolkit, sebuah aplikasi perangkat lunak yang memungkinkan negara-negara untuk menilai ketidaksetaraan menggunakan database Pemantauan Kesehatan WHO yang ada di dalam database atau menggunakan data mereka sendiri; sebuah manual langkah-demi-langkah tentang bagaimana negara dapat menanamkan pemantauan ketimpangan kesehatan di sistem informasi kesehatan mereka; dan kode statistik yang diperlukan untuk menganalisis data survei rumah tangga untuk mengungkapkan di mana terjadi kesenjangan. (*)
Komentar