PADANG, KLIKHEALTH – Sebagai mantan aktifis kampus dan kemudian menjadi aktifis sosial, Musfi Yendra (35), memilih berkiprah di bidang sociopreneur (sosial bisnis) sebagai “medan” perjuangannya ketimbang menjadi politisi atau pegawai pemerintahan seperti kebanyakan anak muda lainnya. Dalam usia yang tergolong muda, bersama jaringan Dayamart yang dirintisnya sejak 2016, Musfi telah membuktikan diri bahwa secara bersamaan ia bisa berjuang di dunia bisnis dan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.
“Banyak sekali tawaran masuk dunia politik. Namun untuk saat ini saya ingin fokus dulu ke dunia sosial. Kalau jadi PNS memang tidak minat sejak awal. Melalui civil society kita lebih bisa menebar manfaat untuk orang banyak. Menurut saya, konsep pemberdayaan masyarakat miskin perlu diubah, dari sekadar menyantuni dengan mendorong untuk lebih produktif,” kata Musfi kepada Klikhealth.com.
Dengan latar belakang pemikiran itulah, Musfi menggangas pendirian Dayamart, usaha ritel yang dikembangkannya dengan konsep sosial bisnis.
“Kami berbisnis layaknya seperti usaha minimarket lain, namun bisnis ini kami bangun sebagai aset produktif bagi orang miskin, di bawah PT. Dompet Dhuafa Niaga, salah satu unit usaha di bawah Yayasan Dompet Dhuafa Republika, saya sebagai penggagas program ini dan menjadi direktur di perusahaan,” kata lelaki low profil itu.
“Ini adalah ikhtiar kami bersama tim agar masyarakat miskin bisa mandiri, punya aset yang produktif untuk jangka panjangnya. Tidak hanya sekedar disantuni saja, tapi mereka terlibat dalam proses usaha yang kami bangun. Semua karyawan di Dayamart dari keluarga dhuafa kami bentuk mentalnya jadi pengusaha bukan karyawan. Di setiap toko ada 4-5 orang, mereka kami berikan masing-masing 1 toko untuk dikelola, saya bilang ke mereka, toko ini milik kalian, kalian menggaji diri sendiri dari usaha ini dan belajar berwirausaha. Selain itu toko ini juga harus menghasilkan keuntungan agar bisa di-sharing ke orang miskin lainnya,” tambahnya.
Ada lima aktivitas sosial yang menjadi value bisnis Dayamart, pertama, karyawan diutamakan dari keluarga miskin, yatim dan piatu. Kedua, ada program member card untuk warga miskin di sekitar minimarket Dayamart, mereka belanja dengan diskon, bahkan dijual harga modal ke mereka. Ketiga, pembinaan warung atau lapau di sekitar Dayamart, berupa suplai barang dengan harga murah dan manajemen usaha. Keempat, membina pelaku UMKM, mulai dari produksi hingga pemasaran. Kelima, keuntungan bersih usaha disalurkan kepada fakir, miskin, yatim piatu, anak-anak terlantar, lansia, disabilitas dan juga mendukung program dakwah. “Saat ini ada dua oulet yang kami siapkan dimana keuntungan bersihnya akan digunakan untuk mendukung program hafidz Qur’an,” katanya.
Dayamart memiliki taggline “Belanja Sambil Berbagi”. Artinya setiap orang yang belanja di Dayamart otomatis akan ikut berbagi, sebab keuntungan usaha ini disalurkan kepada masyarakat miskin.
Perjuangan Musfi ternyata tidak sia-sia. Jaringan bisnis Dayamart kini terus menggurita. Saat ini jaringan minimarket ini sudah memiliki 6 oulet di Padang, dan dua di Jakarta. Kini, total investasi yang sudah digelontorkan untuk Dayamart mencapai Rp3,5 miliar.
“Kami punya misi Dayamart ada di setiap provinsi ke depan,” katanya optimis .
Jaga Standar Kesehatan Produk
Sebagai minimarket yang memperdagangkan barang/produk untuk masyarakat banyak, Musfi Yendra sangat menyadari akan pentingnya kesehatan, keamanan, dan kehalalan produk yang dijual jaringan ritelnya. Karena itu, ia menerapkan standar yang ketat terhadap produk yang dijualnya.
“Dayamart adalah minimarket yang tidak menjual rokok dan minuman keras. Mengapa? Karena kami sadar kedua hal tersebut sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat,” tutur Musfi.
Dayamart membina UKM yang bergerak di bidang kuliner, seperti makanan ringan, dampingi sekitar 30 UKM di Padang, mereka menjadi anggota Rumah Kemasan yang dibuat khusus untuk mengedukasi mereka tentang standar makanan yang sehat. “Kami menyiapkan peralatan packaging, pemasaran dan ke depan akan berbadan hukum koperasi. Kami juga siapkan anggaran sendiri untuk membantu izin-izin usaha mereka, seperti PIRT, BPOM dan label halal. Kami juga bekerjasama dengan dinas perdagangan dan kesehatan dalam melakukan pembinaan terhadap pelaku UKM ini,” ulasnya.
Terkait pengawasan produk yang dijualnya, Dayamart juga senantiasa mengontrol produk makanan dan minuman yang mendekati kadaluarsa.
Secara rutin Dayamart juga disidak Badan POM. “Sejauh ini tidak masalah dengan produk makanan dan minuman yang kami jual,” tukasnya seraya menegaskan selalu berupaya menjaga produk yang dijual sesuai dengan standar kesehatan.
Ayah sebagai Inspirator
Menyoal kiprahnya di dunia sosial Musfi Yendra mengaku banyak diinspirasi oleh sang ayah. “Saya lahir dari orangtua yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada orang lain, sehingga jiwa sosial saya terpupuk melihat itu dari ayah saya. Sampai sekarang dalam berkegiatan sosial saya banyak mendapat inspirasi kretif dari Ayah saya. Ayah saya sering membuat program sosial sendiri yang kadang tak terpikir oleh saya. Contohnya baru-baru ini ayah membanggun mushalla di tengah sawah, gunanya agar orang bekerja di sawah bisa ibadah dengan baik, padahal untuk membawa materialnya sangat sulit. Ia juga membuat dan membagikan papan untuk liang lahat bagi orang yang meninggal sejak dua tahun ini dan aktivitas lain. Kadang idenya jauh lebih hebat dari saya dan dijalankan sendiri atau diupahkan. Kalau saya memang berada di sebuah lembaga besar Dompet Dhuafa, kami bekerja tim,” ungkapnya.
Musfi Yendra lahir di Nagari Tabek, Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar, 22 Mei 1982, dari pasangan H. Asmadikar Iskandar (ayah),dan Hj.Liza Yuniarti Johar (ibu).
Suami dari Syafitri Ikhnas, S.Si dan ayah dari Hanna Rubiah Musfi ini selain sebagai akademisi yag mengajar di Fisipol Universitas Ekasakti Padang, juga aktif sebagai Pegiat Sosial, Pembina di Dompet Dhuafa Singgalang, dan salah seorang pendiri Minangkabau Business School and Entrepreneurship Center (MBS-EC).
Pria yang menyelesaikan S1 Ilmu Politik S1 di Universitas Andalas Jurusan (2007), dan Pascasarjana (S2) Unand Pemusatan Politik Lokal dan Otonomi Daerah (2014) itu aktif di berbagai organisasi sosial kemasyarakatan, pemuda dan wirausaha muda, pengurus HIPMI Sumbar, anggota KADIN Sumbar, HIPPI Sumbar, KONI Sumbar
Sejak tahun 2002 hingga sekarang, Musfi aktif menjadi pembicara di lebih 300 forum kegiatan di antaranya seminar, pelatihan, workshop untuk mahasiswa dan masyarakat, talkshow radio dan televisi dengan tema-tema politik, pendidikan, agama, filantropi dan wirausaha baik nasional maupun lokal. Tak hanya itu, sejak 2006 ia aktif menulis di berbabagi media, baik cetak maupun online hingga 200-an judul.
Ditanya soal kunci suksesnya, Bintang Aktivis Kampus FISIP Unand (2007) dan peraih Marketeer of The Year Padang Kategori Public Service dari MarkPlus (2014) itu, merendah. ”
“Kami masih terus belajar, masih sangat banyak kekurangan. Kami sadar masih jauh dari kesuksesan, namun inilah tantangan yang saya terus hadapi bersama tim. Niat kami tulus untuk berbuat untuk sesama, bukan untuk kepentingan pribadi atau lembaga Dompet Dhuafa semata. Saya bukan orang punya pengalaman di usaha ritel, namun banyak pihak yang bantu kami membangun ini, dan semua adalah atas kemudahan dari Allah. Kami sangat yakin itu dalam berjuang,” kata peraih penghargaan Social Welfare Award’s 2015 dari Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) Sumatera Barat itu.
Kepada generasi muda, Musfi berpesan, saat ini lapangan pekerjaan di sektor formal seperti PNS atau karyawan perusaan sangat sempit, sementara potensi alam dan ekonomi kita besar. “Ini menjadi peluang untuk tumbuhnya semangat berwirausaha. Apalagi kita orang Minang, yang berkultur pedagang,” kata pria yang memiliki motto hidup “Kenali Diri, Gali Potensi dan Gapai Ridho Illahi”
Jumlah pengusaha di Indonesia, kata Musfi, saat ini masih sangat minim. Data yang dihimpun dari HIPMI, menunjukan bahwa Indonesia baru memiliki sekitar 1,6 persen pelaku wirausaha dari total jumlah penduduk 250 juta jiwa. Artinya hanya 4,6 juta orang yang terjun ke dunia usaha.
Dibanding negara tetangga rasio pengusaha kita masih jauh tertinggal. Singapura misalnya, telah mencapai 7 persen, Malaysia 5 persen, dan Thailand 4 persen.
”
Mindset berbisnis juga harus diubah bahwa, semua tidak tergantung modal finansial, bisa saja skill, semangat juang dan tenaga. Mau bisnis apa saja tidak boleh gengsi. Saya bangga dengan anak-anak yang mau jual gorengan, karena mentalnya hebat,” katanya. (*)
Komentar