PADANG, KLIKHEALTH — Prof.Dr.dr.Rizanda Mahmud, M.Kes punya cara tersendiri untuk refreshing pasca kesibukan kerja. Yakni, dengan menikmati panorama alam, jika liburan pergi ke alam bebas menembus hutan, melihat air terjun, dan bermain di sungai. Ia juga kerap pergi ke pulau, bermain di Pantai di berbagai daerah di Sumatera Barat.
“Pemandangan Sumatera Barat sungguh indah sekali. Semua dekat. Pantai dekat, Gunung dekat, Danau pun dekat,” tutur Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran Universitas Andalas itu kepada Klikhealth.com.
Ibu empat anak yang juga memiliki hobi traveling, melihat kehidupan dan adat istiadat penduduk setempat, di negara-negara lain.
“Dari sana kita bisa melihat dan memaknai kebesaran penciptaan Allah SWT,” ungkap tokoh yang memiliki motto hidup, berpikir positif, optimis, ikhlas, dan selalu bersyukur.
Tatkala diajak diskusi tentang perkembangan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dewasa ini, Prof.Rizanda Machmud tampak sangat antusias dalam merespons-nya.
“Derajat kesehatan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir ini sudah semakin membaik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator seperti meningkatnya rerata umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi, diikuti dengan menurunnya index kemiskinan, dan meningkatnya rerata lama sekolah,” kata istri dari Ir.Asri Mukhtar, Kepala Departemen Legal Governance Risk Compliance Management Representative PT Semen Padan itu.
Rizanda menilai, sudah ada upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia dengan memberlakukan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka seluruh masyarakat Indonesia akan dijamin kesehatannya. Ini yang disebut sebagai Universal Health Coverage (UHC).
Menurutnya, Indonesia merupakan negara terbesar dengan jumlah UHC terbanyak, karena jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan negara lain.
Beberapa permasalahan yang dihadapi Indonesia dewasa ini, dan masih merupakan PR terbesar adalah dalam angka kematian ibu (AKI) yang masih belum dapat diturunkan. Untuk isu saat ini adalah adanya wabah difteri, yang dipicu gerakan anti vaksin dengan isu hoax tentang kandungan vaksin yang mengandung unsur babi. Dampak dari hoax itu adalah penurunan cakupan imunisasi pada balita, dan selanjutnya timbul wabah. Padahal hal tersebut tidak benar.
Untuk itu, ia mengimbau agar masyarakat berhati-hati meneruskan info-info yang belum jelas kebenarannya. “Jika sudah program pemerintah, tentu untuk kepentingan masyarakat luas,” jelas Rizanda.
Menyoal masih rendahnya derajat kesehatan masyarakat Indonesia, Rizanda mengatakan persoalan itu mesti dilihat satu persatu, karena setiap masalah berbeda-beda penyebabnya.
Untuk AKI yang masih tinggi, katanya, jika dilihat penyebabnya ada penyebab langsung dan tidak langsung. Untuk yang langsung seperti ketersediaan sarana kesehatan, dan SDM Kesehatan. Namun hal ini sudah diupayakan pemerintah untuk meningkatkan mutu/ kualitas pelayanan kesehatan.
Sementara penyebab tidak langsung, lanjut Rizanda, sangat banyak variabelnya. Termasuk di dalamnya masalah akses, dimana kita ketahui Indonesia memiliki kendala dengan georafis yang luas dan sulit berupa kepulauan, pegunungan dengan daerah yang sulit dijangkau atau pasca gempa. Selain itu, ada peran pengetahuan ibu yang kadang dipengaruhi juga dengan budaya dan adat setempat, dukungan keluarga terutama suami. “Untuk itu, perlu upaya bersama dari segenap pihak untuk menurunkan angka kematian ibu tersebut,” terang Rizanda.
Upaya yang sama juga perlu diupayakan terkait isu vaksin babi ini, dimana awalnya ada yang jualan obat herbal dengan janji bisa meningkatkan imunitas tubuh. Bahkan dimunculkan pula berbagai isu negative tentang vaksi.
“Info yang tidak benar tersebut dikemas ilmiah tapi menyesatkan, lalu dicopy paste atau diteruskan info-info tidak benar. Isu yang kurang baik kadang sangat cepat meluasnya. Karena itu, masyarakat mestinya hati-hati dalam meneruskan informasi. Pahami dulu, cek dan ricek kebenarannya,” ajak Rizanda.
Ditanya peran pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan ini, Rizanda mengusulkan, sebaiknya dibuatkan program bersama. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan wide sector approach. Ini sudah diakomodir oleh pemerintah melalui adanya musrenbang baik tingkat level kabupaten/kota, provinsi maupun nasional.
Termasuk di dalamnya pengalokasian penganggaran terhadap program kesehatan. Perlu kerjasama antar organisasi perangkat daerah (OPD) untuk bersinergi dalam kegiatan yang direncanakan. Sehingga akan didapatkan dampak yang besar bagi masyarakat.
Rizanda menyatakan mendukung pendapat Dirjen WHO Dr.Tedros Adhanom Ghebreyesus yang dilansir klikhealth.com bahwa kesehatan yang baik juga ditentukan di antaranya akses terhadap air minum dan sanitasi yang aman, makanan bergizi, perumahan yang layak, pendidikan dan kondisi kerja yang aman.
Kondisi ini sebenarnya, kata Rizanda, sudah terakomodir dan diupayakan pemerintah Indonesia. Namun belum menyeluruh. Hal ini terkendala oleh karena geografis yang luas dan akses daerah sulit berupa kepulauan. Sehingga sebarannya menjadi tidak merata. Ini menjadi sumber permasalah adanya ketidakmerataan tersebut, dan menimbulkan ketimpangan.
Terkait masih adanya gap dalam layanan kesehatan di Indonesia, Rizanda Machmud menyatakan, tidak bisa dibebankan seluruhnya pada pemerintah. Perlu peran dari masyarakat, kemitraan, karena tidak akan mungkin semua dilakukan ke pemerintah.
“ Kita mengupayakannya bersama. Kekuatan masyarakat sesungguhnya besar yang disebut sebagai social capital. Perlu upaya inovatif dari masyarakat untuk menjaga kesehatan secara mandiri, ataupun berkelompok serta berperan aktif dalam program pemerintah,” ulasnya.
Mengembangkan Karakter Diri
Rizanda Machmud lahir di Jakarta 8 Desember 1967 dari pasangan H. Masri Mahmud dan Hj. Afifah Mahmud. Ia merupakan anak pertama dari 6 bersaudara.
Wanita yang selalu juara sejak SD tersebut, menamatkan SD sampai SMA di Jakarta yaitu SD Trisula Salemba, SMP Negri I, dan SMA Negri 4.
Ia menjadi mahasiswi undangan, masuk tanpa tes dengan jalur Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK) ke Fakutas Kedokteran Universita Andalas Padang pada tahun 1986. Setelah menamatkan perkuliahan, sejak Desember 1993 sampai Januari 1997 ia menjadi dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) dengan penempatan di Puskesmas Andalas, Kecamatan Padang Timur, Padang, Sumbar.
Selesai tugas PTT pada tahun 1997, ia diterima menjadi dosen di di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (FK UNAND).
Pada tahun 2000-2002 Rizanda mengambil S2 di Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dengan peminatan Biostatistika. Ia kembali ke Padang, setelah setahun mengajar, kemudian pada tahun 2003 mengambil S3 di fakultas yang sama, dan berhasil lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2005 dengan nilai IPK tertinggi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Pada program S2 dan S3, Rizanda mendapatkan basiswa DIKTI Kementrian Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2010 diangkat menjadi Guru Besar di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan termasuk Guru Besar yang termuda di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Bicara soal pengalaman hidup yang menjadi pelecut ia bisa sukses seperti saat ini, Rizanda mengatakan, sebenarnya kesuksesan itu diraih dari bagaimana seseorang dalam membentuk karakter diri. Intinya, awal dari semua kegiatan yang dilakukan harus dikembalikan kepada niat.
“ Luruskan saja dulu niatnya karena Allah SWT dan minta ditunjukkan jalanNya. Selanjutnya, kembali ke tujuan hidup adalah menjadikan diri kita bisa bermanfaat sebanyak-banyaknya untuk orang lain. Artinya kita harus positif dalam berfikir, optimis dan ikhlas,” katanya
Ada tiga hal yang akan dikejar untuk amalan yang akan tetap berlanjut setelah meninggal yaitu ilmu yang bermanfaat, amal shaleh dan anak yang sholeh. “Fokus saja mengerjakan ke- 3 hal tersebut. Setelah semua dilakukan, perkara sukses dan apa yang kita dapatkan, saya rasa kembali lagi bahwa semuanya hanya pemberian titipan Allah SWT saja,” katanya.
Ditanya siapa yang berperan besar dalam keberhasilan yang dicapainya saat ini, Rizanda mengatakan, semuanya tidak terlepas dari rahmat dari Allah SWT. Didukung suasana lingkungan seperti keluarga, mulai dari orang tua ayah ibu, adik-adik dan keluarga besar, suami, anak-anak, mertua, keluarga adik ipar dan keluarga besar suami.
“Disamping itu teman-teman dosen, mahasiswa dan terpenting adalah masyarakat. Karena penelitian dan pembelajaran yang didapatkan berasal dari masyarakat,” terangnya.
Dari pernikahannya denga Asri Mukhtar, Rizanda dikaruniai 4 anak, masing-masing dr. Rizkia Chairani Asri, Fadhita Maisa Asri mahasiswa Fakultas Teknik Unand, Nabila Hana Asri, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Unand, dan Faris Hadi Asri, pelajar SMAN 1 Padang.
Ditanya bagaimana ia mengatur waktu antara keluarga dan kesibukan pekerjaan, Rizanda mengatakan, “Waktu kita sebenarnya sama 24 jam. Dalam mengatur waktu kita harus dahulukan mana yang penting. Diatur saja agar berjalan bersama. Jangan sampai keluarga merasa dikorbankan. Ketika waktunya berbenturan, kita tahu bahwa kepentingan keluarga yang didahulukan. “
Menurut dia, kualitas pertemuan dengan keluarga sangat penting. Bagaimana merasa terikat satu sama lain. Jangan sampai ketika duduk bersama tapi tidak berbincang, dan tidak sehati. Komunikasi dalam mengambil keputusan seluruhnya juga dibicarakan bersama, saling terbuka, tapi juga saling menghargai. “Kemampuan mendengarkan juga perlu. Walaupun anak, pendapatnya dihargai, didengarkan,” katanya.
Menurut dia, keluarga teramat penting karena merupakan ladang ibadah dan mencari amal. Bagi seorang istri dan ibu bisa memilih pintu surga mana yang akan dimasukinya. “Jangan pernah mengorbankan keluarga,” ingatnya.
Ditanya obsesinya dalam jangka panjang, Rizanda tidak lagi bicara duniawi. “Keinginan saya jangka panjang saya adalah bisa terus mendapatkan amalan sesudah mati. Baik itu melalui ilmu yang bermanfaat, shadaqah jariyah atau pun dari anak yang shaleh dan shalehah. (*)