KLIKHEALTH- Percayakan Anda, untuk ketemu dokter THT Australia di negeri kangguru itu butuh waktu 1 tahun. Kok bisa?
Membandingkan sistem kesehatan di Indonesia dengan negara maju seperti Australia, mungkin seperti siang dan malam. Di negeri kangguru sistem kesehatannya sudah sangat baik. Fasilitas dan infrastrukturnya sudah juga sangat maju. Namun di balik itu, layanan kesehatan di Australia tidak sepenuhnya sempurna. Misalnya, dalam hal ketersediaan dokter spesialis.
Dokter Speasialis di Australia Dapat Gaji Besar
Pengalaman itulah yang dirasakan Maulid Hariri Gani (47), dosen ISI Padang Panjang yang enam tahun bermukim di O’Connell St, Kingsbury Melbourne, Australia.
Hari, demikian Maulid Hariri Gani dipanggil, berada di Australia mendampingi istri tercinta, Temmy Thamrin, M.Hum., Ph.D, yang mengambil S3 di La Trobe University.
Hari mengungkapkan, sistem kesehatan di Australia memang sudah maju. Setiap warga negara ketika lahir langsung dijamin pemerintah, baik kesehatan maupun jaminan sosial lainnya. Ada unit yang disebut Centre Link, untuk mengurusi masyarakat di bidang kesehatan maupun jaminan sosial.
“Para pelajar dari luar negeri pun juga dilayani. Intinya tidak ada masyarakat Australia yang tidak terdata di Centre link,” kata Hari, alumni S2 UGM jurusan Antropologi itu.
Harus ke Dokter Umum Dulu
Bagaimana sistem layanan di pusat layanan kesehatan? Menurut Hari, pasien yang datang berobat harus ke General Dokter (dokter umum) terlebih dahulu. GD tidak sendiri-sendiri dalam praktek, namun praktek bersama, bisa 4 sampai 5 orang dalam satu gedung.
Pasien bisa memilih dokter mana yang dia suka. Alur yang harus dilalui antara lain, mendaftar ke FO (biasanya ada 2-3 petugas), ketika mau mendaftar dikonfirmasi dulu via telepon karena sistemnya adalah janjian. Setelah mendafar, menunggu giliran, nanti dokter langsung yang memanggil si pasien memasuki ruang praktek. Tak ada perawat satu pun di situ.
Semua dilakukan oleh dokter bersangkutan, baik memanggil pasien, memeriksa tensi dan lain sebagainya. ditangani langsung dokter umum.
Semisal ada tindakan cek darah, di klinik sudah ada fasilitas untuk itu. Dokter hanya meresepkan obat yang memang benar-benar dibutuhkan. Bahkan bisa saja dokter tidak memberikan obat apapun kalau dianggapnya pasien hanya perlu istirahat, banyak makan buah serta minum air putih.
Sistem Layanan Pasien Operasi
Bagaimana dengan layanan lanjutan seperti operasi? Menurut Hari, sewaktu mendaftar mau operasi, harus lapor dulu ke resepsionis, didata yang mau operasi, baik itu nama, umur, jenis kelamin, alamat, keluhan dan lainnya. Setelah itu pasien diminta menunggu.
Tidak lama kemudian pasien akan didatangi dua perawat yang akan mengambil sample darah. Saat itu kembali diajukan pertanyaan yang sama saat pendaftaran.
Selanjutnya, datang lagi petugas yang akan membawa ke ruang operasi. Pertanyaan yang sama kembali diajukan pada pasien. Petugas ini kemudian serah terima dengan petugas kamar operasi. Di sini kembali diajukan pertanyaan yang sama terkait identitas diri. Setelah itu baru diserahkan kepada dokter anastesi. Di sini, dokter kembali akan menanyakan pertanyaan yang sama.
“Tujuan pertanyaan itu dilakukan berulang, agar tidak salah pasien dan salah tindakan. Walau kesannya paranoid, tapi itulah SOP yg harus dilalui pasien yang akan dioperasi,” kata Hari.
Hari punya pengalaman menarik ketika anaknya, Andhika, mengalami operasi amandel di Australia. Ketika telah selesai dengan dokter umum, Hari membuat janji dengan dokter THT Australia agar anaknya dioperasi.
Namun ia hampir tak percaya, ternyata untuk membuat janji dan ketemu dokter THT Australia memakan waktu 1 tahun. Itu terjadi karena dianggap amandel sang anak belum mendesak untuk ditindaklanjuti. “Setelah 1 tahun menunggu, dokter THT Australia itu merujuk anak saya untuk dioperasi, dan kami harus menunggu selama delapan bulan untuk tindakan operasi,” ungkapnya.
Jumlah Dokter Sangat Minim
Kenapa layanannya begitu lama lama? Menurut Hari karena di sana jumlah dokternya sangat minim sehingga antrean untuk berobat sangat banyak.
“Kalau tidak salah pada tahun 2012-2013 itu jumlah dokter THT di negara bagian Victoria tidak lebih dari empat orang,” kata Hari.
Terkait dengan sistem kesehatan di Indonesia, Hari mengakui memang belum sebaik di Australia. Namun demikian, pelayanannya yang harus diberikan lebih maksimal. Petugas kesehatan (baik dokter maupun perawat) jangan sampai membeda-bedakan pasien. Semua harus dilayani sama baik mau miskin maupun kaya.
“Itulah yang dilakukan dokter Australia terhadap pasiennya. Mereka tidak pernah membeda-bedakan status sosial pasiennya,” kata Hari.
Menurut dia, yang juga perlu dibenahi di Indonesia adalah, bagaimana tenaga medis dapat memberikan empati pada pasien. Jika dari segi fasilitas dan teknologi kita masih jauh tertinggal, namun dari segi kemanusiaan mungkin bisa dibenahi.
SPH Mudahkan Layanan Bagi Pasien
Kerja Serabutan di Australia
Meski seorang dosen dan bergelar S2, Hari ternyata juga harus berjuang keras menghidupi keluarganya Australia.
“Di Australia enam tahun tanpa famili, istri sekolah S3, anak-anak sekolah juga, sedangkan beasiswa macet. Otomatis untuk bertahan harus bekerja keras di sana,” ungkap Hari.
Untuk menunjang hidup keluarganya, mantan dosen Unes dan UBH itu harus bekerja jam 10 pagi sampai jam 11 malam, 6 hari dalam seminggu. Apa pekerjaan yang pernah dilakoninya? Menjadi tukang sapu, tukang cuci piring, dan tukang masak, dan terakhir menjadi store manager salah satu Nandos’s (semacam KFC) di Melbourne.
“Tidak ada mahasiswa Indonesia yang tdk berkerja sambilan untuk menunjang hidup mereka di sana, karena beasiswa yang diterima tidak mencukupi untuk bertahan hidup,” kata mantan Ketua Panwas Pilkada Kota Padang
itu.
Hari dan keluarga tinggal di Australia sejak November 2009 hingga Desember 2015. Istrinya berhasil menyelesaikan S3 Bidang Linguistics, dan kembali ke kampusnya, di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Bung Hatta. (*usa)
Komentar