KLIKHEALTH –– Kementrian Kesehatan mengingatkan masyarakat agar jangan sembarangan meminum antibiotik. Antibiotik merupakan obat keras yang memerlukan resep dokter dalam penggunaannya.
Imbauan ini disampaikan Kementrian Kesehatan dalam acara temu blogger di Yogyakarta, November 2017. Menurut Sekretaris Komite Perlawanan Antimikroba Kemenkes, Mariyatul Qibtiyah, antibiotik adalah obat untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri infeksius, bukan virus mematikan atau jamur.
“Kondisinya, banyak orang yang mengkonsumsi antibiotik saat sakit ringan seperti batuk dan diare. Padahal batuk bukan disebabkan oleh bakteri tapi oleh virus,” ujarnya.
Batuk dan pilek adalah cara tubuh melindungi paru-paru dari penumpukan lendir. Muntah dan diare, lanjutnya, adalah cara tubuh mengeluarkan zat beracun dari perut. Antibiotik harus digunakan seperti yang ditentukan oleh dokter, jika tidak, resistensi bakteri dapat menyebabkan masalah kesehatan yang lebih parah.
BACA JUGA: Musim Hujan, Ikuti Nasehat PakarGizi Atasi Flu
Menurut WHO, resistensi bakteri terjadi ketika bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik yang pada awalnya efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri ini.
Selain itu, berdasarkan data WHO 2013, jumlah kematian akibat resistensi bakteri sebanyak 700 ribu orang per tahun. Jika dibiarkan, pada tahun 2050 tingkat kematian bisa meningkat menjadi 10 juta per tahun.
Qibtiyah menjelaskan, di dalam tubuh manusia ada bakteri baik dan bakteri jahat. Resistensi terjadi ketika seseorang menggunakan antibiotik secara tidak rasional, meningkatkan jumlah bakteri jahat dan menekan jumlah bakteri baik.
Efeknya adalah masalah kesehatan termasuk gangguan ginjal, kelainan hati, kehamilan dan gangguan janin. Karena itu, kata Qibtiyah, masyarakat harus bijak menggunakan antibiotik.
Beberapa hal yang perlu diwaspadai, yaitu antibiotik hanya untuk infeksi bakteri, tidak membeli antibiotik tanpa resep dokter, tidak menyediakan antibiotik di rumah, dan tidak memberikan antibiotik residual kepada orang lain.
“Perlawanan bukan hanya masalah Indonesia, tapi dunia. Oleh karena itu, kita perlu mengendalikannya,” kata Qibtiyah. (*)
Komentar