JAKARTA – Keberadaan dokter spesialis di daerah dinilai masih kurang, belum lagi pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan begitu dangkal. Lantas, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menginisiasi Program Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS), dengan penugasan bagi dokter spesialis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Indonesia. Salah tujuan WKDS ini adalah untuk pemertaan pelayanan spesialistik bagi masyarakat.
Di RSUD Namrole, Kabupaten Buru Selatan, Maluku misalnya, keberadaan dokter spesialis amat dibutuhkan. Kemenkes telah mengirimkan lima dokter spesialis, yaitu dr. Agnes Wijaya Spesialis Obstetri dan Ginekologi (Obgyn), dr. Gupita Dharma Spesialis Penyakit Dalam, dr. Adi Santosa Soetrisno Spesialis Anesthesi, dr. David Wau Spesialis Anak, dan dr. Heri Pratomo Spesialis Bedah.
Keberadaan mereka membuka harapan baru bagi kesehatan masyarakat di sana. Kini masyarakat tak lagi khawatir bila membutuhkan pelayanan spesialistis, seperti persalinan atau penyakit dalam. Fasilitasnya pun sudah lebih baik dari sebelum mereka ditugaskan di sana.
Namun demikian, untuk mencapai semua itu butuh upaya yang tak semudah memutar balikkan telapak tangan. Agnes, dokter spesialis yang pertama ditempatkan di sana pada Agustus 2017 mengaku sempat kesulitan bertugas di sana. Pasalnya, RSUD tempat ia bertugas itu tidak memiliki fasilitas lengkap, bahkan dirinya menilai RSUD tersebut seperti Puskesmas.
”Awal-awal tugas (di RSUD) tidak ada OK (ruang operasi), obat-obat tidak lengkap, air tidak mengalir, dan tidak ada bank darah,” ucap Agnes pekan lalu.
Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan baginya ialah ketika harus merujuk pasien ke RSUD Namlea, Kabupaten Buru. Butuh waktu 3 hingga 4 jam perjalanan darat, apalagi saat merujuk pasien bersalin, dengan waktu selama itu, risiko kematian sangat tinggi.
Selain itu, kendala yang dialaminya adalah soal pemahaman masyarakat terhadap kesehatan. Kondisinya hingga saat ini, banyak masyarakat yang melahirkan tidak di fasilitas kesehatan. Bahkan, ada penduduk yang tinggal di belakang gunung. Proses melahirkan yang dilakukan tanpa dibantu petugas kesehatan, sang ibu dibiarkan melahirkan sendiri.
Dampaknya, tidak sedikit bayi meninggal. Sekarang saja, kata Agnes, ada seorang ibu yang sudah dua kali melahirkan tapi bayinya meninggal dua-duanya. Saat ini ibu tersebut tengah mengandung kembali.
Kebetulan pada bulan ke dua, yakni September 2017, telah ditempatkan dokter Gupita Dharma dan dr. David Wau. Dilanjut lagi pada Desember ditempatkan dr. Adi Santosa Soetrisno dan dr. Heri Pratomo. Setidaknya pelayanan kesehatan spesialistik sudah terbantu dengan adanya dokter spesialis baru.
Agnes dan dokter lainnya segera mengambil tindakan terhadap ibu hamil tadi, memantau kondisi ibu dan janin, termasuk gizinya. Mereka mengupayakan agar sang ibu mau melahirkan di RSUD.
Di tengah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kesehatan, mereka sering kali melakukan sosialisasi dan edukasi. Seperti persalinan yang harus dilakukan di fasilitas kesehatan.
Pada akhir Oktober, angin segar mulai dirasakan masyarakat Namrole, RSUD yang semula fasilitasnya tidak lengkap, sudah berpindah tempat ke gedung baru. Ada ruang operasi, HCU, dan pada bulan ini sudah ada unit transfusi darah. Angka persalinan bisa mencapai 2 hingga 5 pasien dalam sebulan, dari yang sebelumnya 0 perbulan.
Masyarakat tentu tidak akan mudah menerima semua pemahaman yang diberikan Agnes dan rekan lainnya. Namun, perlahan tapi pasti, Agnes dan rekannya meyakini masyarakat akan memahami pentingnya kesehatan dan berobat ke fasilitas kesehatan.
Agnes berpesan kepada peserta WKDS lainnya agar bertugas atas nama masyarakat. Mereka butuh bantuan para dokter spesialis untuk memperbaiki kesehatannya terutama bagi mereka yang tinggal di daerah perbatasan. (*)
Komentar