KLIKHEALTH — Bayi mungil itu usianya dua bulan. Tapi sang ibu panik. Di usia itu, sang pujaan hati belum bisa tertawa. Fisiknya juga tidak berkembang. Di usia empat bulan, yang seharusnya bisa miring, juga tak dapat dilakukan si bayi.
Hal yang sama terjadi saat bayi menginjak usia delapan bulan. Normalnya sudah bisa duduk, lagi-lagi itu tak terjadi di masa perkembangannya. Ekstremnya, di usia 19 tahun, seorang ibu datang ke rumah sakit dengan digendong ibunya. Ia tidak bisa apa-apa, tidak bisa duduk, tidak bisa berjalan. Ia tidak bisa membedakan mana yang kumuh, mana yang bersih.
Pengalaman-pengalaman itu diceritakan dokter anak RSUP M. Djamil Padang Eka Agustina Rini Spa(K) kepada KLIKHEALTH.com. “Ini yang disebut hipotiroid kongenital,” ujarnya. Sederhananya, pengalaman-pengalaman itu merujuk kepada kekurangan hormon tiroid bawaan.
Hormon tiroid, katanya, sejak lahir sudah dimiliki semua bayi. Gunanya untuk memproduksi dua hormon: pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan pada rambut, gigi, dan organ dipengaruhi hormon ini.
“Tanpa hormon tiroid, organ tidak akan berfungsi,” katanya. Paling utama yang tidak berfungsi tersebut adalah otak, organ sentral yang mempengaruhi semua fungsi tubuh. Mengatakan dingin, lapar, salah satu kerja otak.
Nah, kata Eka, kalau hormon tiroid kurang atau berlebih akan mengalami gangguan. Kadar normal hormon ini 0,7-1,4 ng/dl (nenogram/desiliter). Kekurangan hormon tiroid yang disebut hipotiroid, mengalami retardasi. Sementara kelebihan hormon ini, yang disebut hipertiroid, menunjukkan gejala keringat berlebihan, nadinya lebih cepat, bisa menyebabkan gangguan pada jantung. “Efek yang paling fatal, bisa terserang penyakit gagal jantung,” tuturnya.
Sulit Dideteksi
Ironinya, sulit mengetahui penyakit ini lebih dini. Dari pengalamannya, Eka mengatakan, hanya 10 persen gejala yang tampak oleh visual. Misalnya, lidahnya membesar, telinga kasar, pusar bodong, tidak berak-berak, dan lamban.
“90 persen lagi datang dalam keadaan retardasi,” tuturnya. Si ibu mengeluhkan anaknya yang di usia empat tahun normalnya sudah bisa berlari tapi tak mampu dilakukan. Lebih cenderung pendiam dan tidak peduli dengan lingkungan.
Persoalannya, sebut Eka, hipotiroid kongenital tidak sering terjadi. Kejadiannya 1 dari 3 ribu kelahiran. “Kelihatannya kecil, tapi bila dibiarkan ia akan menyebabkan enak hingga dewasa menjadi bodoh,” tuturnya.
Spesialis Endokrinologi anak ini mencontohkan, jika kelahiran di Sumatera Barat (Sumbar) ada 80 ribu per tahun, yang artinya ada sekitar 26 orang anak yang menderita hipotiroid kongenital. Tahun depan akan bertambah lagi 26 anak. “Yang akan muncul tidak lagi Sekolah Bertaraf International, tapi juga akan lebih banyak tumbuh sekolah-sekolah luar biasa,” ujarnya.
Meski lebih banyak ‘menyerang’ anak-anak perempuan, sambung lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) ini, hipotiroid kongenital dapat menyerang semua kelahiran, tidak mengenal asal-usul.
Seorang pasien pernah datang kepadanya, yang anaknya kemudian diketahui mengidap penyakit tersebut. Gejalanya si anak mirip dengan (maaf) idiot. Pasien mengatakan, “Kami ini keturunan baik-baik lo, Buk,” ujar Eka menirukan.
Ini, kata Eka bukan persoalan pernikahan ‘baik-baik’ atau bukan. Namun, karena sulitnya mendeteksi penyakit ini, dan dapat menyerang semua kelahiran, memberikan pengobatan yang tepat adalah jalan keluar.
Screening
Menurut Eka, salah satu cara dini untuk mendeteksi hipotiroid kongenital adalah dengan melakukan screening untuk semua bayi yang lahir. Screening adalah alat yang digunakan untuk mendeteksi kadar hormon tiroid. Menurut Eka, darah diambil dari tumit bayi, lalu diperiksa di laboratarium. Akan keluar angka kadar hormon. Jika hormon tiroid kurang, langkah bisa lebih cepat dilakukan.
Lebih jauh disebutkan, semakin lama diagnosis hipotiroid kongenital tertunda, semakin tinggi risiko bayi mengalami retardasi mental dan berbagai macam gejala sisa neurologis, misalnya koordinasi motorik yang buruk, serta ketidakmampuan belajar dan kemampuan pemusatan perhatian yang berkurang.
“Screening hipotiroid kongenital di Indonesia belum sepenuhnya dianut. Masih dalam proses agar bisa diterima,” ujarnya. Ia menganjurkan supaya screening hormon tiroid pada anak masuk di dalam standar pelayanan kesehatan.
“Di luar negeri, semua bayi baru lahir diperiksa hormon TSH-nya. Kalau hormon TSH tinggi, maka langsung dikasih obat suplementasi,” ungkapnya. Sebuah penelitian mengungkapkan, bila terapi dimulai sebelum usia 3 bulan, maka anak akan mencapai tingkat kecerdasan rata-rata (IQ) sebesar 89. Angka ini bisa turun sampai 70 bila pengobatan dilaksanakan antara usia 3 dan 6 bulan. Setelah 6 bulan, rata-rata IQ hanya 54.
Pada neonatus, gejala khas hipotiroid sering kali tidak tampak dalam beberapa minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15 persen bayi baru lahir hipotiroid yang datang dengan gambaran klinis mencurigakan, yang membuat dokter waspada terhadap kemungkinan hipotiroidisme.
“Kalau ketahuan dari awal, bisa lebih bagus. Tapi tidak akan bisa seperti anak normal. Sekarang kita tinggal membantu anak itu untuk mengembangkan kemampuannya sampai dia bisa menolong dirinya sendiri,” ujarnya.
Untuk anak yang sudah didiagnosis dengan hipotiroid, ia harus minum hormon tiroid seumur hidup. Untungnya, pemberian hormon tiroid tidak dengan disuntikkan, tetapi diminum sehingga lebih sederhana. Permasalahan yang sering kali muncul adalah, bagaimana memastikan anak secara rutin mengonsumsi obat tersebut. Efek samping konsumsi obat hampir tidak ada jika dosis yang diberikan pas.
“Kalau seseorang tidak ada sama sekali hormon tiroid, dia tidak bisa hidup. Kalau obat diberhentikan, bisa koma. Jadi, hormon tiroid itu hormon kehidupan,” katanya.
Gejala penurunan kecerdasan atau retardasi mental akan sangat minimal bila hipotiroid kongenital diketahui dan diobati pada usia 14 hari pertama setelah lahir. “Kalau bisa, pemeriksaan cukup sekali. Dua minggu pertama periksa antara hari ke-3 sampai ke-14,” ujarnya.
“Setelah tiga tahun, dievaluasi ulang apakah memang jaring tiroidnya tidak terbentuk, atau ada tapi sedikit, atau sifatnya hanya sementara,” jelasnya. Dijelaskan, kunci keberhasilan pengobatan anak yang menderita gangguan hipotiroid kongenital adalah deteksi dini dan pengobatan sebelum berumur 1-3 bulan, yang secara kasatmata sulit diketahui.
Di sebagian besar negara di dunia, screening hipotiroid pada bayi baru lahir sudah dilakukan secara rutin. Di Amerika dan Eropa dilakukan sejak 1974, Hongkong sejak 1978, dan Inggris sejak 1982. Sementara untuk negara-negara ASEAN, Singapura memulainya sejak 1982, Malaysia sejak 1991, disusul Thailand dan Philipina masing-masing pada tahun 1992 dan 1996.
“Indonesia belum memasukkannya dalam undang-undang. Jika ingin menyelamatkan generasi masa depan, ini harus dilakukan pemerintah,” harapnya. (*)
Komentar