KLIKHEALTH – Setelah lima generasi selama 100 tahun terakhir ini, dari generasi ‘Baby Boomers’ sampai ‘Generasi Alpha’ sekarang, kini lahir kembali suatu generasi baru yang dinamakan ‘Generasi Micin’.
Istilah ini seringkali digunakan dalam lingkup sosial sebagai olokan yang didasarkan dari keyakinan masyarakat terhadap pengaruh ‘micin’ bagi otak apabila terlalu banyak dikonsumsi. Namun, benarkah banyak pembodohan yang disebabkan karena memakan ‘micin?
‘Micin’ atau dengan nama ilmiahnya Monosodium Glutamate (MSG) yang masih punya beberapa sinonim lainnya memiliki rumus struktur kimia C5H8NNaNO4 dengan nama IUPAC sodium;(4S)-4-amino-5-hidrkosi-5-oksopentanoat.
Dikutip dari farmasetika.com, micin memiliki bobot molekul 169. Wujud fisik atau pemerian dari MSG berbentuk bubuk kristalin putih dengan bau samar, memiliki rasa campuran manis dan asin atau biasa disebut gurih dalam konsentrasi yang cukup banyak.
MSG akan terdekomposisi pada suhu 2320C, larut dalam air namun praktis tidak larut dalam pelarut organik, memiliki pH 6.8 dalam larutan 5% micin.
Monosodium glutamat merupakan wujud garam dari asam glutamate dengan natrium (atau disebut juga sodium). Disini kita akan membahas kedua properti tersebut.
Natrium (Na) adalah unsur golongan 1 yang merupakan logam alkali, memiliki nomor atom 11. Unsur natrium yang biasa dipakai di kehidupan sehari-hari terkandung dalam garam dapur (NaCl), atau dalam soda api (NaOH) dengan ikatan ionik karena memiliki muatan (+1) apabila berdiri sendiri sehingga dapat berikatan juga dengan asam glutamat yang memiliki muatan (-1).
Asam glutamat merupakan salah satu dari 20 asam amino dasar, dan merupakan salah satu dari 11 asam amino non-esensial yang berarti asam glutamat dapat juga diproduksi oleh tubuh. Asam glutamat memiliki symbol (Glu), atau (E) merupakan salah satu dari dua asam amino yang memiliki sifat asam dalam pH netral selain Asam Aspartat yang memiliki struktur tidak jauh berbeda.
Secara alami, MSG banyak terkandung dalam tomat, kentang, ikan, udang, masakan semur, sup daging, dan keju.
Sejarah dan Regulasi terhadap MSG
MSG biasa dipakai dalam industri makanan sebagai bumbu tambahan untuk menambahkan rasa umami (gurih) pada makanan. Pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuan biokimia Jepang bernama Kikunae Ikeda yang mencoba membuat rasa gurih seperti dalam sup rumput laut kombu.
MSG memiliki nama yang cukup buruk di kalangan masyarakat, yang berawal sejak 1968 dari CRS (Chinese Restaurant Syndrome) dimana kala itu penggunaan micin khususnya pada restoran China tergolong banyak, dan banyak laporan mengenai efek samping konsumsi makanan China seperti kesemutan, lemas, pusing, dan lain sebagainya.
Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) telah menetapkan keamanan penggunaan asam glutamat dan wujud garamnya sebagai bumbu masak pada 1971, 1974, dan 1987. Food and Drug Administration (FDA) juga menetapkan MSG sebagai golongan senyawa yang memiliki akreditas Generally Recognized As Safe (GRAS). FDA juga menetapkan bahwa tidak ada perbedaan struktur dalam MSG yang didapatkan secara alami pada makanan dan MSG yang dibuat secara sintetis dan memiliki pengaruh yang sama juga.
Konsumsi MSG secara alami telah dilakukan sejak jauh hari hingga tahun 5.500 sebelum masehi, dalam konsumsi keju. Namun penggunaan MSG secara sintetis baru dilakukan selama 100 tahun terakhir, dan belum ada studi yang membuktikan pengaruh negatif dari MSG.
Studi terhadap MSG
Banyak studi yang dilakukan untuk membuktikan pengaruh MSG terhadap CRS, namun hasil yang didapatkan tidak konsisten dan tidak ada pengaruh secara konkrit terhadap respon tubuh terhadap konsumsi MSG.
Salah satu studi membuktikan bahwa MSG murni tidak memberikan rasa gurih yang disukai oleh kebanyakan orang, namun rasa tersebut didapatkan apabila tergabung dengan aroma gurih yang dihasilkan. Rasa gurih didapatkan dalam konsentrasi yang berbeda bergantung pada jenis makanannya.
Tubuh yang sehat dapat memetabolisme glutamat dalam jumlah yang cukup banyak karena pada dasarnya tubuh pun dapat membuat asam glutamat sendiri. Uji in vivo terhadap tikus berbanding dengan konsumsi garam membuktikan hasil yang cukup mengejutkan dimana dosis median letal (LD50) yaitu dosis yang diberikan hingga separuh dari subyek percobaan mengalami kematian yang dimiliki oleh MSG lebih rendah dari garam. Hal ini membuktikan bahwa konsumsi garam memiliki pengaruh dan tingkat bahaya yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi MSG sebanyak lima kali lipat lebih kuat.
Studi yang memperkuat argument terhadap pengaruh micin dilakukan oleh peneliti Universitas Washington, Olney, yang membuktikan pemberian micin secara injeksi dalam dosis yang tinggi secara subkutan pada bayi tikus menimbulkan kematian jaringan pada otak sehingga perkembangan tikus tersebut menjadi dewasa, struktur tubuh tikus uji menjadi kecil ataupun obesitas dan beberapa subjek tidak dapat melakukan reproduksi.
Studi lanjutan dilakukan oleh Olney dengan subjek monyet rhesus, yang melakukan pemberian MSG dalam dosis yang sama secara peroral. Hasil yang didapatkan serupa dengan studi yang dilakukan oleh peneliti pada Universitas Washington tadi, namun 19 studi yang lain tidak menunjukkan hasil yang sama.
Studi yang dilakukan oleh FDA pada tahun 1995 membuktikan bahwa terdapat efek respon buruk apabila micin diberikan dalam dosis besar pada beberapa kelompok yang sensitif terhadap MSG yang akan muncul satu jam setelah pemberian MSG sebanyak 3 gram. Konsumsi normal MSG pada makanan biasanya sebanyak setengah gram melalui makanan
Studi pada tahun 2000 mencoba untuk membuktikan lebih banyak lagi pengaruh konsumsi MSG pada beberapa orang yang mengaku memiliki hipersensitifitas terhadap MSG, dengan memberi mereka MSG atau placebo. Placebo adalah obat yang tidak memiliki kandungan, tujuannya untuk membuktikan konsistensi pengaruh MSG. Placebo yang digunakan berisi laktosa, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan MSG. Selain penggunaan placebo di dalamnya, kandungan MSG yang diberikan juga ditingkatkan untuk melihat pengaruh secara kuantitatif terhadap konsentrasi MSG yang dikonsumsi dengan gejala yang dirasa oleh golongan tersebut. Dari 130 orang yang mengaku, hanya dua orang yang membuktikan konsistensi hipersensitifitas mereka hanya terhadap MSG dan tidak pada placebo. Dilanjutkan dengan pemberian MSG dalam makanan, hasil yang didapat menjadi tidak konsisten dan mulai kuat keraguan terhadap sensitivitas terhadap MSG.
Kesimpulan
Hingga saat ini belum terdapat studi khusus yang membuktikan dampak negatif dari penggunaan micin dalam makanan, dan pengaruhnya terhadap ‘generasi micin’ yang seringkali disebut oleh masyarakat kini.
Garam memiliki peran lebih tinggi dalam metabolisme tubuh sebagai penjaga isotonis sel dalam tubuh, dan memiliki pengaruh lebih kuat dalam konsumsi berlebihan.
Studi telah membuktikan bahwa konsumsi garam berlebihan menyebabkan kering tenggorokan karena peningkatan konsentrasi garam menyebabkan difusi cairan ke dalam paru-paru dan otak dan menyebabkan muntah, mabuk, lemas, serangan jantung dan kematian. (*)
Komentar