JAKARTA, KLIKHEALTH – Cacar Variola dan Polio, merupakan dua penyakit menular dan berbahaya telah berhasil dicegah, bahkan polio nyaris musnah dari bumi Indonesia. Tahun 1974, penyakit cacar variola (berbeda dengan penyakit cacar air yg masih ditemui saat ini yaitu varicella) telah berhasil dihilangkan. Tahun 1995 label eradikasi polio sempat disematkan kepada Indonesia. Situasi ini bertahan hingga sepuluh tahun kemudian muncul laporan bahwa polio telah melumpuhkan beberapa Balita di salah satu wilayah di pulau Jawa hanya karena mereka tidak diimunisasi.
Dikutip dari depkes.go.id, hingga saat ini, sejarah terus mencatat upaya Indonesia untuk melindungi generasi bangsanya dari ancaman penyakit berbahaya melalui program imunisasi secara nasional.
Lawan Penyakit Infeksi dengan Imunisasi
Telah lama disadari bahwa penyakit adalah penghambat pembangunan. Jika seseorang sakit, maka waktunya akan tersita untuk pengobatan dan upaya penyembuhan, sehingga produktivitasnya pun tentu akan berkurang.
Upaya untuk membuat masyarakat sehat telah dirintis sejak lama, bahkan sejak Indonesia merdeka, namun saat itu fokus utama adalah upaya kuratif yang lebih menekankan pengobatan. Seperti diketahui banyaknya kasus penyakit berdampak pada besarnya biaya, sehingga program lebih diprioritaskan kepada langkah-langkah preventif (pencegahan) secara bertahap, salah satunya adalah imunisasi yang tentu harus dibarengi dengan penyuluhan dan sosialisasi yang masif pada masyarakat.
Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai dengan imunisasi cacar (1956); imunisasi campak (1963); dengan selang waktu yang cukup jauh mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberculosis (1973); disusul imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil (1974); imunisasi difteri, pertusis, tetanus (DPT) pada bayi (1976); lalu polio (1981); campak (1882); dan hepatitis B (1997); hingga inisiasi imunisasi Haemophilus Influenza tipe B dalam bentuk vaksin pentavalen.
Adapun keunggulan vaksin Pentavalen (DPT-HB-Hib) jika dibandingkan dengan program imunisasi sebelumnya adalah mengurangi risiko lima penyakit sekaligus, mengurangi kesakitan pada anak, dan mengurangi kunjungan ke Posyandu. Belakangan, Kemenkes mulai menginisiasi vaksin Rubella (2017) ke dalam program imunisasi nasional dan melakukan program demonstrasi vaksin HPV untuk mencegah kanker serviks bagi siswi dan remaja putri (2016) di beberapa provinsi.
Pelaksanaan expanded Program on Immunization (EPI) yang dikenal di Indonesia sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI) secara resmi dimulai di 55 Puskesmas pada tahun 1977, meliputi pemberian vaksin kekebalan terhadap empat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus. Saat ini program nasional Imunisasi berkembang dengan menambah 5 lagi PD3I yang dapat dilindungi yaitu Campak, Polio, Hepatitis B.
Pneumonia dan Meningitis akibat infeksi Hib. Target awal program imunisasi nasional adalah mensukseskan Indonesia dalam program Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 1982. Saat ini sesuai dengan RPJMN, maka pemerintah menargetkan 95% kabupaten/kota sudah mencapai IDL minimal 80%. Untuk dapat mencapai tujuan ini, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik Pusat, perintah daerah maupun masayarakat. Jika tujuan ini tercapai maka PD3I bisa ditekan sehingga tidak menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
KLB Difteri dan ORI
Saat ini kita dihadapkan dengan meningkatnya kasus Difteri yang dilaporkan di lebih dari sebagian provinsi di Indonesia pada berbagai range usia, sebagian besar pada anak-anak. Setiap wilayah yang melaporkan satu kasus difteri, maka wilayah tersebut dinyatakan mengalami kejadian luar biasa (KLB), yang ditetapkan oleh kepala daerahnya.
Hal ini berarti bila ditemukan satu kasus klinis Difteri walaupun belum dinyatakan positif secara laboratorium, maka daerah tersebut dinyatakan mengalami KLB, tetapi artinya berupa warning bukan wabah. Setelah kasus Difteri ditemukan dan dilaporkan, segera dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) dan outbreak response immunization (ORI).
ORI merupakan salah satu upaya penanggulangan KLB yang bertujuan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat dengan mengurangi immunity gap sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Program ini menyasar bayi berusia 1 tahun sampai anak yang berusia <19 tahun. ORI Difteri sebanyak tiga putaran perlu dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari terhadap bakteri corynebacterium diphteriae.
ORI putaran pertama sebagai upaya pengendalian KLB Difteri telah dilaksanakan mulai pertengahan Desember 2017 di 12 kabupaten/kota di 3 provinsi, yakni DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Hingga tanggal 7 Januari 2017 pukul 20.30 WIB rata-rata cakupan sebesar 59,34% dengan rincian cakupan DKI Jakarta (64,86%); Banten (59,09%); dan Jawa Barat (48,95%).
Bulan Januari 2018 ini merupakan jadwal putaran kedua ORI Difteri, sementara putaran ketiga dilakukan 6 bulan lagi. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi orang tua yang memiliki putra dan putrinya belum mendapatkan vaksin di putaran pertama ORI Difteri, tidak perlu khawatir, lapor saja ke petugas kesehatan agar bisa mendapatkannya.
Antara Vaksin dan Anti Difteri Serum
Vaksin adalah suatu kuman (bakteri/virus) yang sudah dilemahkan yang kemudian dimasukkan ke dalam tubuh seseorang untuk membentuk kekebalan tubuh (imunitas) secara aktif, dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara suntik ataupun oral (diteteskan). Sedangkan serum adalah produk biologi yang sudah mengandung kekebalan terhadap suatu infeksi, diberikan kepada individu bila terserang adanya infeksi penyakit, atau diduga akan terkena infeksi.
Dari definisi tersebut, fungsi vaksin dan serum memang berbeda. Fungsi utama dari vaksin adalah untuk pencegahan terhadap suatu penyakit, sedangkan serum berfungsi untuk pengobatan.
Pengobatan difteri membutuhkan serum anti-difteri dan antibiotik. Serum dan antibiotik diberikan bersamaan karena serum tidak dapat digunakan untuk mengeliminasi bakteri penyebab Difteri. Begitu juga sebaliknya, antibiotik tidak dapat menggantikan peran serum untuk menetralisasi toksin difteri.
Anti difteri serum (ADS) harus segera diberikan ketika diagnosis difteri ditemukan gejalanya. Serum akan efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak timbul gejala. Penundaan pemberian serum akan meningkatkan risiko komplikasi dan kematian. Sementara itu, antibiotik dibutuhkan untuk membunuh bakteri penyebab dan mencegah penularan penyakit.
Masyarakat tidak perlu khawatir karena pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, menjamin keamanan dan ketersediaan produk vaksin, baik untuk program imunisasi rutin maupun ORI, juga ketersediaan ADS bagi pengobatan kasus Difteri yang ditemukan. (*)
Komentar