KLIKHEALTH — Penyakit psikosomatik atau yang lazim disebut sebagai “sakit pikiran” disebabkan banyak hal. Di antaranya karena sedih teramat sangat, atau pusing karena tekanan kerja, sakit perut karena gugup, atau patah hati yang membuat pusing, sesak di dada, dan demam.
Dinukil dari tirto.id, diketahui bahwa Edward E. Smith, ddk pada tahun 2011 pernah melakukan penelitian dengan pengamatan pada 40 orang responden yang mengalami patah hati selama 6 bulan terakhir.
Pada percobaan pertama, responden diminta memandang foto mantan orang terdekat untuk mengukur rasa sakit psikis. Perlakuan tersebut bertujuan untuk memunculkan efek penolakan di benak responden.
Lalu pada percobaan kedua, mereka diberi rangsang panas di lengan sebagai parameter rasa sakit fisik. Hasilnya menunjukkan jaringan di daerah otak yang merespon rangsang sensorik sakit fisik (korteks somatosensori sekunder dan insula posterior dorsal) aktif pada percobaan pertama.
Pengukuran oleh MRI menyatakan rasa sakit psikis akibat penolakan mantan setara dengan rasa sakit akibat kulit terbakar. Artinya, otak merespon rasa sakit psikis serupa dengan respon rasa sakit fisik di tubuh.
“Hubungan antara fisik dengan emosional erat sekali. Individu yang tak bisa mengekspresikan emosinya mengalihkan ke kondisi fisik,” jelas DR. dr. Fidiansjah, Sp.KJ, MPH, psikiater sekaligus Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza di Kementerian Kesehatan.
Alan Fogel, Ph. D seorang profesor psikologi di Universitas Utah mengatakan depresi, kegelisahan, dan ragam penyakit psikologis lainnya berhubungan dengan saraf tertentu.
Mekanisme ini yang sering diabaikan para psikolog : bahwa otak terhubung dengan saraf ke bagian tubuh lainnya– di mana ekspresi yang ingin dimunculkan gagal terwujud –.
“Misalnya ketika menahan jeritan marah maka saya masih merasakan sisa ketegangan otot leher dan rahang,” ujar Alan.
Penyakit pikiran juga membikin jantung dan napas tidak selaras sehingga mengaktifkan sistem saraf simpatik. Seolah sedang menghadapi ancaman, denyut jantung dan tekanan darah akan meningkat, menciptakan rasa sakit di dada.
“Ini alasan orang yang memiliki hubungan buruk cenderung punya masalah kardiovaskular.”
Di Indonesia, meski prevalensi penduduk yang mengalami sakit psikis (gangguan mental emosional ringan dan sedang) berdasar Riskesdas 2013 hanya 6,0 persen. Namun dr Fidiansjah meyakini ketika diuji dengan metodologi yang lebih tajam dan melibatkan pakar khusus, maka realitasnya bisa mencapai sekitar 20 persen.
“Survei nasional hanya menggunakan pertanyaan standar dan tidak harus psikiater yang melakukannya.” ungkap Fidiansjah.(*)
Komentar